Kasus Dokter Asusila Publik yang Tidak Ramah Perempuan
Baru-baru ini, dunia kesehatan dikejutkan oleh kasus dokter kandungan yang melakukan tindakan asusila terhadap pasiennya saat pemeriksaan USG. Tragedi ini bukan sekadar pelanggaran etik medis, melainkan bukti nyata betapa rentannya perempuan dalam situasi yang seharusnya aman. Bagaimana mungkin seorang pasien yang datang untuk memeriksakan kesehatan justru menjadi korban kejahatan seksual?
Kasus ini memaksa kita mempertanyakan kembali narasi populer
yang menyerukan "perempuan sebaiknya di rumah saja". Jika semua
perempuan dikurung dalam rumah, lalu siapa yang akan melindungi pasien
perempuan dari dokter bermasalah? Siapa yang akan menjadi saksi ketika terjadi
penyimpangan di ruang-ruang tertutup?
Fakta mengejutkan dari Komnas Perempuan menunjukkan 63%
kekerasan seksual di fasilitas kesehatan dilakukan oleh tenaga medis laki-laki.
Angka ini bukan alasan untuk mencurigai semua dokter pria, tapi sinyal kuat
bahwa keberadaan perempuan di ruang publik, khususnya di profesi strategis, bisa
menjadi mekanisme proteksi alami.
Lalu, apakah solusinya melarang perempuan bekerja? Justru
sebaliknya. Dunia membutuhkan lebih banyak dokter, perawat, dan bidan perempuan
yang bisa memberikan rasa aman bagi pasien. Masalahnya bukan pada perempuan
yang keluar rumah, tapi pada sistem yang gagal menyediakan lingkungan kerja
yang aman dan profesional.
Islam sendiri memiliki contoh mulia seperti Rufaidah
Al-Aslamiyah, perawat pertama dalam sejarah Islam yang merawat tentara terluka
di medan perang. Rasulullah SAW pun memerintahkan para sahabiyah untuk belajar
dasar-dasar medis. Ini menunjukkan bahwa kontribusi perempuan di ruang publik
bukan hal baru, melainkan tradisi yang sejalan dengan nilai-nilai Islam.
Pertanyaannya: bukankah lebih baik menciptakan sistem yang
melindungi semua pihak daripada membatasi gerak separuh populasi manusia?
Bayangkan jika semua tenaga medis adalah laki-laki.
Bagaimana perasaan seorang ibu muda yang harus menjalani pemeriksaan kandungan?
Atau remaja perempuan yang membutuhkan konsultasi kesehatan reproduksi?
Ketidaknyamanan ini bukan sekadar masalah privasi, melainkan bisa menjadi
penghalang akses kesehatan yang vital.
Polisi perempuan juga memainkan peran unik. Data kepolisian
menunjukkan bahwa laporan kekerasan terhadap perempuan meningkat 40% ketika ada
unit khusus yang ditangani polwan. Korban seringkali lebih nyaman bercerita
kepada sesama perempuan, terutama dalam kasus sensitif seperti pelecehan atau
KDRT.
Guru perempuan di pesantren dan madrasah juga menjadi garda
terdepan dalam pendidikan akhlak bagi santriwati. Mereka bisa menjadi figur
yang memahami dinamika psikologis remaja perempuan yang mana sesuatu yang sulit
digantikan oleh ustadz laki-laki.
Di dunia modern, konselor perempuan di kampus atau tempat
kerja menjadi tempat curhat yang aman bagi mahasiswi atau karyawati yang
mengalami masalah. Keberadaan mereka bisa mencegah banyak kasus depresi yang
tidak terdeteksi.
Bahkan di sektor yang dianggap "maskulin" seperti
teknologi, perempuan programmer bisa menjadi role model yang mendorong lebih
banyak perempuan masuk ke bidang STEM (Science, Technology, Engineering,
Mathematics). Ini penting untuk memastikan produk teknologi tidak bias gender.
Lalu, apakah semua ini bisa dilakukan dari dalam rumah?
Nyatanya, kontribusi strategis perempuan membutuhkan kehadiran fisik dan
profesionalisme di ruang-ruang publik.
Keseimbangan Islami: Antara Kesalehan Individual dan Tanggung Jawab Sosial
Ada kesalahpahaman umum bahwa Islam memenjarakan perempuan
di rumah. Padahal, sejarah Islam justru dipenuhi oleh perempuan-perempuan hebat
yang aktif di ruang publik: dari Khadijah yang menjadi pengusaha internasional,
hingga Syifa binti Abdullah yang ditunjuk Umar bin Khattab sebagai
administrator pasar Madinah.
QS. At-Taubah ayat 71 justru menegaskan peran aktif
laki-laki dan perempuan dalam menegakkan kebaikan: "Dan orang-orang yang
beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi
sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari
yang mungkar." Ayat ini jelas menunjukkan konsep kesalingan, bukan
pembatasan.
Fatwa kontemporer dari Dar al-Ifta Mesir menyatakan bahwa
bekerja bagi perempuan dibolehkan, bahkan dianjurkan asalkan memenuhi tiga
syarat: tidak mengabaikan kewajiban utama terhadap keluarga, menjaga adab
Islami, dan pekerjaannya halal serta bermanfaat bagi masyarakat.
Nabi SAW sendiri memuji perempuan yang bekerja untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam hadis riwayat Bukhari, beliau bersabda:
"Sebaik-baik harta adalah yang dihasilkan dari usaha tangan sendiri."
Ini berlaku untuk semua orang, tanpa diskriminasi gender.
Lalu bagaimana dengan konsep qawwam? Tanggung jawab suami
sebagai pemimpin keluarga tidak lantas membatalkan hak perempuan untuk
berkarya. Sama seperti seorang menteri tetap bisa bekerja meski ada presiden,
atau seorang manajer tetap produktif meski ada direktur.
Poin pentingnya: Islam mengatur etika, bukan membunuh
potensi. Larangan bercampur baur dan berduaan dengan non-mahram misalnya,
justru adalah mekanisme untuk memungkinkan perempuan berkarya tanpa harus
terpapar risiko yang tidak perlu.
Solusi Nyata: Dari Kultur hingga Regulasi
Daripada berdebat tentang boleh-tidaknya perempuan bekerja,
energi kita sebaiknya difokuskan untuk menciptakan ekosistem yang aman dan
produktif bagi semua. Beberapa langkah konkret bisa dipertimbangkan:
Pertama, mendorong segregasi gender di profesi-profesi
sensitif. Rumah sakit bisa menyediakan klinik khusus pasien perempuan yang
ditangani tenaga medis perempuan. Kantor polisi bisa memperbanyak unit
pelayanan khusus polwan.
Kedua, membuat kebijakan zero tolerance terhadap pelecehan
di tempat kerja. Perusahaan dan instansi pemerintah perlu memiliki protokol
yang jelas untuk melaporkan dan menindak pelaku tanpa menimbulkan stigma pada
korban.
Ketiga, meningkatkan pendidikan agama dan etika profesional
sejak dini. Dokter laki-laki perlu diajarkan adab memeriksa pasien perempuan
sesuai syariat. Begitu juga karyawan laki-laki harus paham batasan interaksi
dengan rekan kerja perempuan.
Keempat, menciptakan ruang kerja yang sesuai syariat. Desain
kantor bisa memisahkan area kerja laki-laki dan perempuan tanpa menghambat
kolaborasi profesional. Teknologi juga bisa dimanfaatkan untuk rapat virtual
ketika pertemuan fisik tidak diperlukan.
Kelima, mendukung UMKM perempuan yang bisa bekerja dari
rumah tanpa terisolasi dari dunia luar. Bisnis online syariah menjadi contoh
bagus bagaimana perempuan bisa produktif sekaligus menjaga nilai-nilai Islam.
Yang terpenting, semua kebijakan ini harus dibangun atas
dasar maslahat, bukan sekadar ikut tren atau ketakutan yang tidak berdasar.
Sebab, masyarakat yang sehat adalah yang bisa memanfaatkan potensi semua
anggotanya tanpa terkecuali.
Inspirasi & Kontribusi Perempuan dalam Sejarah Islam
Ketika Perang Uhud berkecamuk, Rasulullah SAW tidak melarang
perempuan ikut ke medan perang. Nusaibah binti Ka'ab malah menjadi legenda
karena membela Nabi dengan gagah berani sampai terluka dua belas kali.
Kontribusinya diakui secara resmi oleh Rasulullah SAW.
Di era kekhalifahan, Aisyah binti Abu Bakar bukan hanya
istri Nabi, tapi juga guru besar yang melahirkan ribuan ulama lewat majelis
ilmu di rumahnya. Murid-muridnya termasuk para sahabat senior yang tidak segan
belajar hadis dan fiqih dari seorang perempuan.
Lubna dari Cordoba menjadi bukti bahwa perempuan bisa
menguasai sains di era keemasan Islam. Sebagai ahli matematika dan sekretaris
Khalifah Al-Hakam II, karyanya di perpustakaan Cordoba membantu melestarikan
warisan ilmu pengetahuan dunia.
Di bidang ekonomi, Khadijah binti Khuwailid adalah CEO
perusahaan perdagangan internasional yang sukses bahkan menjadi majikan Nabi
Muhammad SAW sebelum pernikahan mereka. Kekayaannya yang dikelola secara
profesional menjadi modal penting dakwah Islam di fase awal.
Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa partisipasi perempuan
dalam ruang publik bukanlah bid'ah modern, melainkan warisan peradaban Islam
yang sempat terkubur oleh budaya patriarki yang tidak selalu sejalan dengan
syariat.
Membangun Sinergi: Laki-Laki dan Perempuan sebagai Mitra Kebaikan
Islam memandang laki-laki dan perempuan sebagai mitra yang
saling melengkapi, bukan kompetitor yang saling menjatuhkan. Surah Al-Baqarah
ayat 187 menggunakan metafora "pakaian" untuk menggambarkan hubungan
ini: saling menutupi kekurangan, melindungi, dan memperindah.
Di keluarga, suami yang qawwam bukanlah diktator, tapi
pemimpin yang bertanggung jawab menciptakan lingkungan dimana istri dan anak
perempuannya bisa berkembang optimal. Di masyarakat, laki-laki yang baik akan
menjadi pelindung bagi hak-hak perempuan, bukan penghalang.
Perempuan yang memilih berkarier tidak otomatis memberontak
terhadap kodrat. Banyak ibu bekerja yang justru lebih menghargai waktu dengan
anak-anaknya karena kesadaran bahwa pertemuan mereka terbatas. Disiplin
manajemen waktu justru menjadi nilai plus.
Laki-laki pun sebenarnya diuntungkan dengan adanya perempuan
profesional. Dokter perempuan memudahkan keluarga ketika istri atau anak
perempuannya butuh pemeriksaan kesehatan. Guru perempuan memberikan ketenangan
bagi ayah yang mengirim putrinya ke sekolah.
Pesan utamanya sederhana: alih-alih saling menyalahkan, mari
bangun kolaborasi. Daripada memperdebatkan apakah perempuan boleh bekerja,
lebih produktif jika kita memastikan semua pekerjaan dilakukan dalam koridor
yang aman dan bermartabat.
Dunia tidak hanya membutuhkan laki-laki shalih yang
melindungi, tapi juga perempuan shalihah yang berani tampil dan berkontribusi.
Sebab, masyarakat terbaik adalah yang bisa memanfaatkan semua potensi kebaikan tanpa
memandang gender.