Khayalan vs Akal Sehat: Ketika Penampilan Mengalahkan Substansi


Pernahkah Anda memperhatikan bagaimana pujian "tampan atau ganteng" lebih sering dilontarkan daripada "pandai"? Di kampus, kantor, atau bahkan lingkaran pertemanan, lelaki yang disebut tampan sering mendapat perhatian lebih—entah itu candaan, pujian, atau bahkan keistimewaan terselubung. 

Sementara itu, yang cerdas kerap hanya jadi "tamu" dalam percakapan, diakui kepandaiannya, tapi jarang jadi pusat perhatian.

Mengapa hal ini terjadi? Apakah karena kegantengan lebih mudah dinikmati secara visual, sementara kecerdasan butuh waktu untuk dikenali? Atau jangan-jangan, kita memang hidup di era yang lebih menghargai good looking alias penampilan daripada isi kepala?

Fenomena ini bukan tanpa alasan. Media sosial dan budaya pop telah membentuk standar baru: yang instan lebih menarik daripada yang substansial. Lihat saja bagaimana konten-konten visual seperti TikTok dan Instagram lebih banyak berbicara tentang estetika daripada gagasan mendalam. 

Lelaki yang fotogenik bisa mendapat ribuan likes, sementara pemikir mungkin hanya dapat apresiasi dari segelintir orang yang benar-benar menyimak.

Begitupula perempuan yang cantik kerap lebih cepat mendapat validasi sosial, dibanding perempuan yang menyuarakan gagasan kritis atau menunjukkan kedalaman berpikir. 

Ini bukan sekadar soal visual, tapi cerminan dari masyarakat yang mulai terbiasa menilai dari tampilan luar saja. Akibatnya, banyak potensi intelektual dan pesan bermakna yang tenggelam di balik gemerlapnya citra dan tren viral.

Tapi di balik itu, ada pertanyaan lebih besar: apakah kita—baik laki-laki maupun perempuan—terlalu malas berpikir dan lebih memilih berkhayal?

Perempuan dan Budaya "Membayangkan" daripada Menganalisis

Stiker yang berbunyi "Perempuan lebih suka membayangkan daripada berpikir" mungkin terdengar kasar, tapi benarkah demikian? Mari kita lihat realitanya.

Banyak perempuan bercita-cita menjadi TKW (istilah sekarang pekerja migran) tanpa mempertimbangkan risikonya. Mereka membayangkan gaji besar di luar negeri, tapi tidak memikirkan bahaya eksploitasi, pelecehan, atau kesulitan adaptasi. Mereka berangkat dengan bekal minim—bahkan kadang tanpa ijazah SD—karena tergoda iming-iming yang sebenarnya belum tentu nyata.

Di ranah politik dan profesional, meski jumlah perempuan lebih banyak, yang menduduki posisi strategis justru minoritas. Apakah ini karena perempuan kurang cerdas? Tentu tidak. 

Tapi mungkin, banyak yang lebih memilih zona nyaman—menikmati tontonan sinetron yang memanjakan khayalan, ketimbang mengasah kemampuan berpikir kritis.

Sinetron, misalnya, adalah contoh nyata bagaimana imajinasi dikapitalisasi. Alih-alih menonton dokumenter atau membaca buku, banyak perempuan (dan juga laki-laki) lebih memilih drama yang penuh fantasi: kehidupan mewah, cinta instan, dan konflik yang sebenarnya jauh dari realitas. 

Akibatnya? Mereka terbiasa membayangkan kehidupan ideal, tapi tidak terlatih memecahkan masalah nyata.

Lalu, apakah semua perempuan seperti ini? Tentu tidak. Tapi tren ini cukup mengkhawatirkan ketika khayalan mulai menggeser nalar.

Lelaki dan Obsesi Ketampanan: Sebuah Degradasi Mental?

Jika perempuan dinilai lebih suka berkhayal, bagaimana dengan lelaki? Ternyata, banyak yang justru bangga disebut ganteng daripada cerdas.

Lihat saja fenomena di kampus atau kantor. Seorang lelaki bisa dipuji-puji hanya karena wajahnya, sementara kontribusi pemikirannya diabaikan. "Lelaki tampan datang!" atau "Cowok ganteng punya solusi!"—ucapan-ucapan ini mungkin terlihat seperti candaan, tapi sebenarnya mencerminkan pola pikir yang bermasalah.

Ketampanan memang menyenangkan, tapi seberapa lama bertahan? Wajah bisa menua, tubuh bisa berubah, tapi kecerdasan justru makin matang seiring waktu. Lalu, mengapa banyak lelaki lebih fokus pada penampilan fisik daripada mengasah otak?

Ini mungkin efek dari budaya instant gratification—segala sesuatu harus cepat, mudah, dan enak dilihat. Lebih mudah menjadi "tampan" (atau setidaknya berusaha terlihat menarik) daripada menjadi "pintar" yang butuh proses panjang.

Tapi bahayanya, ketika ketampanan jadi satu-satunya modal, apa yang terjadi saat usia mulai merenggutnya? Apakah mereka akan tetap dihargai, atau justru terlupakan karena tidak punya kontribusi nyata?

Budaya Islam Sensual: Antara Gaya dan Substansi

Ada satu fenomena menarik—dan agak memprihatinkan—dalam masyarakat Muslim modern: jilbab ketat yang justru menarik perhatian.

Banyak perempuan berjilbab tapi memakai pakaian yang sangat membentuk tubuh, seolah ingin mengatakan, "Aku religius, tapi tetap seksi." Apakah ini hasil pemikiran matang, atau sekadar ikut tren tanpa pertimbangan mendalam?

Ini bukan tentang menghakimi pilihan berpakaian, tapi lebih pada motivasi di baliknya. Jika tujuannya agar tetap modis tanpa kehilangan identitas keislaman, itu bisa dipahami. 

Tapi jika hanya ikut-ikutan karena lihat di media sosial, tanpa mempertimbangkan esensi menutup aurat, maka ini adalah contoh lain dari "berkhayal" daripada "berpikir".

Perempuan desa yang tiba-tiba mengecat rambut dan memakai baju ketat—sementara sikap dan bahasanya masih sangat kampungan—adalah contoh nyata bagaimana khayalan bisa mengalahkan akal sehat. Mereka ingin terlihat modern, tapi justru terlihat tidak autentik.

Lalu, apakah salah ingin tampil menarik? Tidak. Tapi ketika penampilan menjadi satu-satunya fokus, sementara substansi diri diabaikan, maka kita sedang membangun generasi yang "bagus di luar, kosong di dalam".

Lalu, Apa Solusinya?

Pertama, mulai menghargai kecerdasan lebih dari sekadar penampilan. Pujilah orang karena ide-idenya, bukan hanya karena wajahnya.

Kedua, kurangi konsumsi konten yang hanya memanjakan khayalan. Sinetron, drama romantis, atau konten viral yang tidak mendidik hanya membuat kita terbiasa menerima informasi tanpa mengolahnya.

Ketiga, baik laki-laki maupun perempuan harus sadar: ketampanan dan kecantikan fana, tapi pikiran yang tajam abadi.

Terakhir, Islam mengajarkan keseimbangan. Boleh saja merawat diri, tapi jangan lupa mengisi kepala dengan ilmu. Boleh berfantasi, tapi jangan lupa berpikir realistis.

Jadi, masih mau sekadar berkhayal, atau mulai menggunakan akal sehat? Pilihannya ada di tangan kita.


Share
Like this article? Invite your friends to read :D